TANANAHU, Negeri Adat Dalam Pusaran SEJARAH
PERADABAN manusia mengalami perkembangan melintasi dimensi ruang dan waktu. Peradaban membentuk sejarah yang diyakini menjadi pedoman bagi pemiliknya untuk menata hidup dimasa kini dan masa mendatang. Sebab dari sejarah orang akan belajar tentang apa yang harus dihindari dan apa yang mesti dipertahankan atau dikembangkan menjadi pedoman guna membangun hidup yang lebih berkeadaban.
Sekalipun sejarah itu tidak tertuang dalam sehelai lembaran kertas, tapi ia akan tetap abadi dalam perputaran waktu yang mencatat prestasi kebaikannya. Sejarah mesti menjadi bahan perenungan buat kita untuk meneruskan apa yang sudah diwarisi kepada kita. Maka dalam pidato 17 Agustus 1966 berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jas Merah) yang melegenda itu, Bung Karno—Sang Proklamator Indonesia menyebut dengan Lantang “Jangan melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang Lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang”. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! jangan sekali-kali melupakan sejarah! demikian Yang Mulia Paduka Presiden berseru.
Tananahu adalah sebuah Negeri adat yang terletak di pesisir Teluk Elpaputih, Kabupaten Maluku Tengah. Satu dari puluhan negeri di Negeri Pamahanunusa yang dipimpin kaum perempuan. Adalah Yulia Awayakuane, berjuluk Ina Latu adat Pasune Waralatu. Ia juga dipercaya mengemban amanat mulia sebagai Ketua Majelis Latupati Maluku Tengah.
Negeri ini berkembang cukup pesat, setidaknya terlihat dari jumlah anak negerinya yang bisa mengenyam pendidikan tinggi serta capaian pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Masyarakat Tananahu saat ini sadar sungguh akan pentingnya pendokumentasian sejarah negeri, sebagai persiapan untuk masa depan. Sejarah hidup para leluhur Tananahu dituturkan dari generasi ke generasi, lewat cerita-cerita orang tua ke anak, Tete dan Nene ke cucucucu. Penuturan dari generasi ke generasi itu tentu memiliki kerawanan dan mengalami pembiasan, yang mungkin saja lahir dari berbagai kreativitas dan interpretasi.
“Kami, orang tua di zaman ini, ingin mendokumentasikan cerita-cerita itu secara tertulis sehingga menjadi sumber pengetahuan bagi anak-cucu, supaya anak cucu mengenal sejarah negerinya dari sumber yang satu,” kata beberapa tokoh masyarakat Tananahu kepada Cahaya Lensa. Dalam sejarahnya negeri elok di tepian Teluk Elpaputih ini mengalami tiga kali pergantian nama, mulai dari Tanah Naku menjadi Tanapu atau Tananaku dan kemudian berubah ke Tananahu hingga sekarang.
Pada fase awal leluhur orang Tananahu berasal dari daerah Latea di Seram Utara. Mereka harus keluar dari negeri lama mereka masing-masing karena ingin menyelamatkan diri dari perang antarsuku yang marak pada zaman itu. Ini menggambarkan penghargaan dan tanggung jawab atas hidup. Pola pergerakan keluar mencari tempat tinggal baru secara berkelompok menggambarkan kesatuan hati yang menjadi modal hidup bermasyarakat.
Selanjutnya, dalam kisah hidup sejak ditemukannya puncak Koli-Kolia hingga berakhir di Pesisir Pantai Teluk Elpaputih, dan ada juga tete nene moyang yang tidak melewati Koli-Kolia namun langsung menuju pesisir dari asal yang sama, Huamual, sarat dengan pola-pola pengambilan keputusan dan pola kepemimpinan yang sangat arif.
Terdeskripsi secara riil juga disana satu gambaran kematangan leluhur Tananahu dalam membangun satu kesatuan masyarakat. Kematangan itu terlihat dari pengaturan pemerintahan sejak turun dan menyatu di pesisir. Masuknya Injil pada tahun 1814 turut memberi sumbangasih bagi peradaban masyarakat Tananahu. Masuknya penjajah dengan berbagai dampaknya bagi penderitaan.
Ketika masuk penjajahan, masyarakat sangat menderita, terutama dengan tak-tik penguasaan wilayah yang tidak manusiawi yaitu dengan membumihangusan kampong ataupun mengusir tuan tanah dari tanahnya secara paksa. Saat orang Apisano diusir oleh Jepang, kampong Rumalait dibakar atas perintah Tuan Wengkel (orang Belanda) dan orang Awaya diusir oleh Belanda, Tananahu menjadi tempat di mana mereka mendapatkan perlindungan dan mendapatkan lokasi pemukiman baru. Hal ini merupakan manifestasi dari solidaritas kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya.
Proses kepemimpinan dan pemerintahan yang mengalami adaptasi dengan perkembangan sosial kemasyarakatan dari setiap soa atau kampong (Tananahu, Apisano, Awaya dan Hilatesia), pun menarik untuk disimak.
Dimulai dari kepemimpinan secara mandiri di setiap kampong, kemudian Apisano dan Tananahu menyatu dengan pusat pemerintahan berada di wilayah Apisano. Selang beberapa waktu, dengan pengusiran oleh Belanda, orang Awaya bergabung dan masuk dalam pemerintahan Tananahu di Apisano. Setelah itu Hitalesia masuk pula bergabung. Setiap penggabungan terjadi secara natural berdasarkan kesepakatan-kesepakatan antara pemimpin kampong. Hingga pada tahun 1948, Pemerintahan yang terpusat di Apisano kemudian dipindahkan ke Kampong Tananahu. Pola perubahan sistim pemerintahan yang sangat unik dipraktekkan oleh keempat negeri di sana. Mereka mungkin secara genealogi berbeda, tetapi sejarah perjuangan mempertahankan hidup di tanah yang menurut mereka baik untuk membangun kehidupan menjadi perekat dan pengikat hubungan sosiologis.
Merger demi merger (bukan pemekaran demi pemekaran), dan kemudian pengalihan pusat pemerintahan yang semuanya terjadi hanya atas kesepakatan politik yang berbasis pada kearifan dan kebijaksanaan leluhur dan pendahulu. Mereka bukan lagi empat, tetapi satu Negeri adat yang berdaulat atas tanah wilayah petuanan yang membentang dari batang Gunung Lumute di utara hingga Laut Elpaputih di selatan, dari Kali Ruwisi di timur hingga kali Eleuw di barat. Sistim pemerintahan dikelola secara demokratis diantara keempat soa. Para leluhur meninggalkan pelajaran hidup orang basudara yang sangat berharga.
Walaupun datang dari asal yang berbeda, Latea dan Huamual dan mungkin dari daerah lainnya, namun keterikatan kasih persaudaraan yang telah dibangun oleh para leluhur telah membentuk sebuah masyarakat Tananahu yang kuat secara historis, sosial dan pemerintahan, dengan didukung oleh kekayaan kearifan budaya maupun sumberdaya alam yang sungguh kaya.
Semua ini perlu dijaga untuk diwariskan kepada anak-cucu yang akan meneruskan kehidupan dan peradaban orang Tananahu ke masa yang akan datang. Bila masyarakat telah memiliki kesadaran itu, seyogianya pemerintah tinggal mendukung pelestarian sejarah, budaya dan sistim sosial yang telah dibangun dan akan terus dipelihara. Bukankah itu kewajiban negara dalam kerangka pikir treaty-treaty internasional terkait dengan hakhak sipil, ekonomi sosial dan budaya?. Alangkah naifnya jika pemerintah malah membuat kebijakan-kebijakan atas pembangunan dan kepentingan apapun yang berdampak menghancurkan tatanan sosial budaya yang ada dan dengan sendirinya melecehkan nilai-nilai hidup yang terkandung didalamnya, menghancurkan harapan hidup rakyatnya ke masa depan yang lebih baik di tanah pusaka nenek moyangnya. Masyarakat Tananahu senantiasa hidup dibawah aturan hukum adat dan dikelola oleh lembaga adat serta sistem pemerintahan kuat terbangun diatas falsafah hidup Pasune Waralatu.
Arus sejarah dengan nyata telah memperlihatkan bahwa kematangan bersosialisasi mampu menggiring generasi yang hidup zaman penjajahan untuk membangun pemerintahan adat yang kuat. Penerimaan terhadap kelompok masyarakat yang kampungnya dibakar maupun diusir adalah bukti nyata dari nilai solidaritas serta kemanusiaan yang tinggi. Para leluhur orang Tananahu telah mewariskan pelajaran hidup orang basudara yang sangat berharga, kendati mereka berasal dari latar belakang berbeda, Latea dan Huamual atau mungkin dari daerah lain juga, namun keterkaitan kasih persaudaraan yang terbangun setidaknya telah membentuk kesatuan masyarakat Tananahu yang kuat secara Historis, sosial dan pemerintahan, dengan didukung kearifan budaya maupun sumber daya alam yang kaya.
Semuanya perlu dijaga, dilestarikan untuk kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya yaitu anakcucu Tananahu yang akan terus ada sepanjang peradabannya.
Sedemikian penting sejarah itu hingga Filsuf Spanyol George Santayana pernah menulis “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya”. Meski demikian namun sinar terang sejarah selalu menjadi kekuatan pemersatu hingga Sir Winston Churchil yang agung itu menyebut “Bila kita senantiasa mempertentangkan masa lalu dengan Masa kini maka sesungguhnya kita telah mengorbankan masa depan” (Hesky Lesnussa, Wartawan Cahaya Lensa.Com)
Tidak ada komentar