Breaking News

Sang TUKANG PARKIR Penyandang DIFABEL



Robeth Karel Laiyan
 "Para penyandang cacat masih dipandang sebelah mata, termasuk dalam kesempatan memperoleh pekerjaan yang layak. Akibat tak berjalannya fungsi pengawasan"

SETIAP orang  pasti tidak  ingin  terlahir dengan  kondisi  cacat  fisik  atau  mental karena pasti akan dipandang sebelah mata dan diremehkan. Penyandang cacat atau kaum disabilitas atau difabel pasti merasa minder dan dirinya  tidak  berguna,  butuh  bantuan  dan pengasihan orang lain untuk menopang hidupnya. Namun menyandang disabilitas bukan berarti tidak bisa bekerja atau tidak berguna sama sekali.

Robeth  Karel  Laiyan  misalnya,  menjadi orang terpinggirkan karena kedua kakinya tak tumbuh  seperti  lazimnya  kaki  orang  lain. Selebihnya,  tak  ada  perbedaan  lain  yang mencolok.  Keterbelakangan  fisik  itu  tidak membuat  pria  kelahiran  Desa  Walerang, Kecamatan Yaru, kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) pada 16 Oktober 1976, patah semangat dan merasa dikucilkan. "Beta harus punya penghasilan dari kerja keras membanting tulang dan bukan berharap belas kasih orang lain. Keterbatasan fisik bukan  hambatan  untuk  berusaha,"  ujar Robeth memulai ceritanya.

Berbeda dari kaum  difabel lainnya, Roberth yang lebih dikenal teman-temannya dengan  sapaan  "Ilham", tidak  patah  semangat untuk berusaha lepas dari belas kasih dan  uluran  tangan  orang  lain.
Dia  giat membanting tulang untuk menghidupi dirinya sendiri. Terlahir sebagai anak bungsu dari tujuh orang bersaudara dengan kondisi fisik tidak sempurna, Ilham tetap memperoleh  kasih  sayang dari  sang ibu Susana Laiyan serta enam saudaranya. Cacat tubuhnya  membuat  Ilham tidak  sempat  mengenyam bangku pendidikan layaknya seperti anak-anak sebaya hingga menjadi dewasa.

"Beta tidak ingin bersedih atau hanya berharap belas kasih keluarga dan orang lain karena kondisi keterbatasan fisik  yang beta  derita. Cacat tubuh bukan  berarti  beta  harus  menadah  tangan  atau menjadi pengemis," ujar Ilham saat berbincang-bincang dengan kru Cahaya Lensa yang menemuinya di lokasi tempatnya bekerja sebagai juru parkir.

Ya memang setahun terakhir Ilham kerja keras membanting  tulang--tanpa  memikirkan cacat tubuhnya--untuk memperoleh penghasilan sendiri dari hasil memerah keringat sebagai 'tukang parkir' di  Kota Ambon,  ibu  Negeri Tanah  Maluku.  Ia mungkin menjadi satu-satunya orang cacat yang bergeliat dengan pekerjaan sebagai juru parkir di kota bertajuk "Manise". Ruas jalan dekat masjid Alfatah, masjid terbesar di Kota Ambon  menjadi tempatnya  beroperasi meraih  rejeki  yang  halal.  Profesi  tukang  parkir, mungkin bagi sebagian orang ambon dianggap hina dan  tidak  berkelas  serta  hanya  khusus bagi masyarakat kelas bawah.

"Beta seng merasa minder dengan kondisi tubuh cacat. Beta malah bangga dengan pekerjaan ini. Haram bagi beta untuk menjadi pengemis," katanya. Ya pengemis menjadi salah satu profesi dilakoni sejumlah  orang  yang  memiliki  kesempurnaan tubuh,  tetapi  memilih  cara  mudah  memperoleh rejeki. Ia menolak menjadi pengemis juga karena ingin mengamalkan wejangan ayah-bundanya saat akan merantau meninggalkan  kampung halaman, menuju Ambon  sebagai  kota metropolitan  berskala kecil. Kena Ditipu Sejak meninggalkan kampung halaman, Ilham  pertama kali mencoba peruntungannya  sebagai penjaga kios di atas  KM.  Sabuk  Nusantara 41,  rute Ambon-Saumlaki (MTB) serta  pulau-pulau  di Kabupaten Maluku Barat Daya  (MBD).


Alih-alih dapat  mengubah masa  depan dengan bekerja  jujur,  malah  berbuah kebohongan can tipu daya dari pemilik kios. Ilham  akhirnya memilih  berhenti  dan  kembali  ke Ambon untuk tinggal bersama keluarganya di RT 01 Desa Galala, Kecamatan Sirimau. Tekad dan niat memperbaiki hidupnya membuat Ilham tidak betah "makan-tidur" di rumah saudaranya dan  memutuskan mencari pekerjaan.

Ia  memang menyadari tidak mudah memperoleh pekerjaan layaknya orang normal, karena keterbatasan fisiknya yang  lemah  dan tidak  sempurna serta  tidak  berpendidikan. Tetapi ia  tidak patah semangat untuk terus berusaha. Suatu  saat  Ilham  iseng yang diboncengi saudaranya dengan sepeda motor melewati ruas jalan AY. Patty--pusat bisnis dan ekonomi di jantung kota Ambon--Ia bertemu dengan Lipan sahabatnya, yang telah lebih dulu merintis karier sebagai juru parkir. Ilham  pun  meminta  tolong  sahabatnya  untuk mencari peluang atau lowongan menjadi juru parkir sama  seperti  yang  dilakoni  Lipan.  Gayung  bersambut Lipan  pun menyanggupinya dan mempertemukan Ilham  dengan  pengelola  parkir yang  dipercayakan  Pemerintah Kota Ambon.  Sehari  kemudian jadilah  Ilham  dengan  profesi barunya  sebagai  juru  parkir  di ruas jalan dekat Mesjid Alfatah. "Mungkin ini jalan Tuhan bagi beta  dengan  profesi ini,  bisa mengubah nasib dan tidak hanya menadah tangan berharap belas kasihan saudara atau orang lain," kilahnya.

Kini dengan berbekal sebuah peluit,  lembaran  karcis  serta rompi khusus. jadilah Ilham sebagai satu-satunya kaum difabel yang  melakoni  tugas  sebagai juru parkir. Ilham terlihat sangat giat bekerja, kendati hanya duduk di trotoar untuk mengatur  sepeda motor warga  yang akan parkir maupun keluar dari lokasi bertugasnya. Kala bertugas Ia tidak dicemooh, malah disukai dan dihargai warga kota serta pengguna kendaraan bermotor yang parkir di lokasinya bertugas. Banyak juga  pengendara  sepeda  motor  maupun  warga yang menyapa dan duduk bercerita degan Ilham saat dirinya sedang bekerja. Dari  kerja  kerasnya,  Ilham  hanya  menyetor Rp25.000  kepada  pihak  pengelola,  sedangkan sisanya menjadi upah kerjanya selama sehari.

Dalam sehari ia bisa mengantongi Rp70.000 hingga Rp100.000  dari  hasil  jerih  juangnya  mengatur kendaraan yang parkir. "Ini  halal  dari  hasil membanting  tulang  setiap hari.  besar  kecil  penghasilan  sangat  tergantung usaha dan kerja keras kita setiap hari," tandas Ilham seraya  menambahkan  hasil  keringatnya  selain  untuk memenuhi kebutuhan setiap hari juga untuk membantu saudara-saudaranya yang lain. Perlakuan Adil Boleh jadi Ilham hanya  satu dari  sekian  ratus atau ribuan penyandang cacat lainnya yang beruntung atas  kesempatannya  bekerja  dan  juga memperoleh  upah  yang  lumayan  besar.

Cerita Ilham  setidaknya mematahkan persepsi di  sebagian besar masyarakat  yang menyatakan bahwa penyandang cacat tak mampu bekerja. Memang Pemerintah Indonesia pun sejak lama sebenarnya  telah  memberikan  perhatian  serius kepada  kaum  difabel.  Bahkan  komitmen  itu  digaungkan pula ditingkat global dan regional dengan menjadi salah satu negara yang menandatangani resolusi  Nomor A/61/106 tentang Convention  on the Rights of Persons with Disabilities di New York pada tanggal 30 Maret 2007. Aturan ini kemudian dituangkan dalam UndangUndang Nomor  19 tahun  2011 tentang Pengesahan Convention  on  The Rights of Persons with Disabilities.

Tahun  lalu, pemerintah Indonesia semakin mempertegas pertanggungjawaban terhadap penyandang disabilitas dengan disahkannya UU No. 8 Tahun 2016  tentang Penyandang Disabilitas. Pada prinsipnya, setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini tertuang  dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan. Bagian penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan itu maki n menegaskan, "Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan  kesempatan  yang  sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin,  suku, ras, agama, dan  aliran  politik  sesuai  dengan minat  dan  kemampuan tenaga  kerja  yang  bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap pa ra penyandang cacat'.

 Kini tinggal komitmen dan kesungguhan pemerintah dan swasta  mempromosikan  dan memberikukan  berbagai kebijakan dan program terkait dengan penanganan isu penyandang disabilitas di bidang ketenagakerjaan.  pemerintah juga  dituntut terus  mendorong terciptanya  kesempatan  kerja seluas-luasnya  dan  menempatkan tenaga kerja  secara inklusif  dengan  mengandeng berbagai pihak. Meski harus  diperlakukan sama, namun dalam hal-hal tertentu perlakuan berbeda terhadap  pekerja  penyandang cacat mesti diterapkan. (JA)


Tidak ada komentar