Glokalisasi; Global dan Lokal
Oleh :
Yakob Godlif Malatuny, M.Pd
Judul tulisan ini saya pinjam dari ide brilian Profesor Idrus Affandi dalam buku yang berjudul Global Citizen. Saya tahu persis pemikiran yang melatari Guru Besar Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Indonesia menerbitkan istilah tersebut. Namun, kemunculannya terasa nyeri-nyeri sedap dan menggelitik karena terkait beberapa kecenderungan dan ironi berikut.
Kesatu, saat mendengar istilah globalisasi tak ubahnya sebagai internasionalisasi, bahkan cenderung uniformasi atau penyeragaman. Kedua, saat berburuk sangka, globalisasi malah bernuansa westernisasi, serba-Barat yang di dalamnya terdapat hegemoni, eksploitasi, dan kolonialisasi. Maka, dengan menutup mata, globalisasi mematikan nilai lokal, menghancurkan pranata nasional dan regional. Ketiga, globalisasi menuju satu arah, Barat.
Namun saat melihat globalisasi dengan hati yang jernih, kosa kata ini menjadi keniscayaan. Akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia ini tak ubahnya seperti sebuah desa yang besar dan luas. Setiap peristiwa yang terjadi di sudut bumi dapat disaksikan secara bersama-sama oleh manusia sejagat dalam detik yang sama di tempat yang berbeda-beda, seperti kata Profesor Idrus.
Tidak kalah menarik, dengan kacamata yang lebih objektif, globalisasi tidak mensyaratkan penyeragaman, tidak harus kebarat-baratan, bahkan tidak harus saling mengalami peristiwa hegemonik-eksploitatif. Yang terpenting adalah globalisasi memungkinkan hidupnya nilai lokal, tradisional, nasional, dan regional. Bahkan, globalisasi semakin indah bak pelangi jika setiap nilai lokal dibiarkan tumbuh sebagaimana mestinya.
Pelangi terlihat indah bukan karena warna merah, kuning, hijau, biru, dan sebagainya. Pelangi justru mempesona karena kumpulan dari semua warna yang membentuk satu garis secara komprehensif. Demikian pula dengan globalisasi, semakin indah dengan tumbuhnya nilai-nilai lokal.
Saat satu kebudayaan menarik budaya lain ke dalam nilai budayanya, maka nilai budaya lokal lain justru menguat. Terdapat magnet berkompetisi dalam alam globalisasi. Itu artinya, tumbuhnya kesadaran nilai globalisasi di satu sisi, menumbuhkan nilai lokalisasi di sisi lain. Maka, globalisasi pada hakikatnya adalah lokalisasi. Itulah sebabnya, lahir istilah glokalisasi. Tumbuhnya nilai global dan lokal sekaligus.
Nilai Lokalisasi
Bila kita menengok ke ujung timur Nusantara tepatnya di pulau Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Yang Mulia Tradisi Adat sebagai nilai lokalisasi masih dipuja-puja dan dihidup-hidupkan oleh warganya, bahkan tradisi adat Tanimbar tak pernah mengenal kedaluwarsa, tak lekang oleh waktu, dan tak tergilas oleh beragam nilai globalisasi. Lebih dari itu, tradisi dimaksud telah mendarah daging dan ada dalam setiap derap langkah hidup warganya. Karena, keluhuran tradisi adat Tanimbar sudah ada sejak leluhur dan diwariskan kepada generasi “zaman now”.
Penulis mengambil sekelumit kisah dari warga Desa Waturu di Pulau Tanimbar yang hidup akrab dengan tradisi adat sebagai nilai lokalisasi, mulai dari hubungan “pela” yang bangun oleh warga Desa Waturu dengan Desa Arma, Sangliat, Wowonda, Namtabun, dan desa lainnya, hingga prosesi formal seperti penjemputan atas kunjungan Bupati Maluku Tenggara Barat, Petrus Fatlolon pada tanggal 28 Desember 2017 di Desa Waturu, yang kental dan sarat akan nilai-nilai adat Tanimbar.
Kala itu, deretan tokoh adat Waturu yang dilengkapi dengan pakaian adat menjemput orang nomor satu MTB itu dalam nuansa adat Tanimbar, mulai dari prosesi pengawalan Sang Bupati dalam perahu Ngorantutul (perahu yang bisa menampung dan membawa seluruh warga Desa Waturu mencapai satu tujuan) hingga mendoakan Sang Bupati pada Sang Khalik dalam bahasa daerah Tanimbar di depan balai desa sembari disaksikan oleh ratusan mata warga. Ditambah lagi, persembahan tarian dan nyanyian adat dari siswa-siswi SMA Negeri 1 Nirunmas kepada Sang Bupati kala itu.
Penulis membayangkan, jika Anda yang sedang membaca tulisan ini turut menyaksikan prosesi tersebut secara antusiasme, maka penulis yakini Anda akan mendulang kesan dan pesan tebal. Namun dari penulis sendiri, prosesi itu benar-benar meninggalkan arti pentingnya merawat dan melestarikan nilai-nilai lokalisasi di tengah kuatnya arus nilai-nilai globalisasi.
Dan prosesi adat yang telah digelar oleh warga Desa Waturu di kabupaten yang berjuluk Duan Lolat itu memberi gambaran pada kita bahwa nilai lokalisasi masih tumbuh subur dan menjamur dalam ladang hidup masyarakat adat di seluruh Nusantara. Terlebih lagi, walaupun nilai lokalisasi sudah tergilas oleh nilai globalisasi yang kian menguat namun takkan hilang dan mati. Justru nilai-nilai lokalisasi tumbuh subur bersamaan dengan nilai-nilai globalisasi bahkan mempercantik warna “pelangi” global itu.
Penulis ingin mengakhiri tulisan ini dengan berpesan pada kita semua bahwa, nilai lokalisasi memerlukan daya tahan terhadap tarikan dan gempuran nilai globalisasi, dengan demikian diperlukan tumbuhnya kesadaran nilai lokalisasi yang kuat dari masing-masing kita untuk merawat dan melestarikan beragam nilai lokalisasi sebagai kearifan lokal (local wisdom) agar tetap hidup dan terpelihara dalam sendi-sendi kehidupan kita, baik sejak dahulu, sekarang, maupun yang akan datang.
Tidak ada komentar