Mata Air "Versus" Air Mata
Oleh :
Yakob Godlif Malatuny, S.Pd., M.Pd
Yakob Godlif Malatuny, S.Pd., M.Pd
Perkembangan pendidikan kita dalam beberapa dekade terakhir memang sudah dirasakan adanya pergeseran yang begitu kompleks, saling kait-mengkait, cepat berubah dan serba paradoks. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah gaya hidup setiap anak bangsa, baik dalam bekerja, bersosialisasi, bermain maupun belajar. Pergeseran pendidikan kita di sisi yang positif, memancarkan mata air kehidupan, namun di sisi yang negatif memancarkan air mata kepedihan.
Kata Gandhi HW, pendidikan menunjuk ironi dan tragedi yang terus mewabah pada bidang kehidupan. Pendidikan lebih terarah pada kepentingan-kepentingan praktis hidup, yaitu melayani pasar ketimbang membangung kehidupan. Sebaliknya, lewat pendidikan lahirlah setiap anak bangsa yang bermoral dan berkarakter baik, memiliki karya mutakhir hingga mencetak prestasi gemilang baik di kancah lokal, nasional, regional, dan global.
Sekelumit kisah anak bangsa seperti Presiden ke-3 Republik Indonesia B.J. Habibie yang telah melahirkan beragam karya dan prestasi di kancah lokal hingga global. Sang jenius asal Papua, Septinus George Saa yang pernah meraih juara Olimpiade Kimia tahun 2001 tingkat daerah, peringkat delapan dalam lomba Matematika Kuantum di India tahun 2003, hingga menang dalam kompetisi dunia “First Step to Nobel Prize” di bidang ilmu Fisika pada tahun 2004.
Sang otak encer asal Maluku, Gayatri Wailisa yang menguasai kurang lebih 14 bahasa asing dan sempat mengharumkan nama Indonesia sebelum menutup usia. Ditambah lagi, hasil pembentukan moral dan karakter anak bangsa, seperti sejumlah siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta yang menerima penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2015, karena bersikap jujur, dan diyakini memiliki dasar sikap anti-korupsi. Mereka mendapatkan bocoran soal Ujian Nasional namun tak mau memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Masih ada lagi kisah-kisah tentang anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia yang tak dapat diuraikan satu per satu dalam tulisan ini.
Anak-anak bangsa yang memiliki moral dan karakter baik, yang melahirkan karya mutakhir hingga mencetak prestasi gemilang memberi bukti nyata bagi kita bahwa pendidikan telah memancar mata air kehidupan, namun di sisi yang lain begaram persoalan yang terjadi dalam wilayah pendidikan meyakinkan kita bahwa pendidikan juga memancar air mata kepedihan.
Beragam persoalan dimaksud dapat kita saksikan demikian marak di jalanan maupun lewat tanyangan layar kaca, mulai dari tawuran sesama anak bangsa, bullying (tindakkan kekerasan), pelecehan, hingga narkoba. Thomas Lickona, menyebutnya sebagai tindakan-tindakan keji dan brutal yang memperlihatkan rendahnya jiwa kemanusiaan yang sengaja dilakukan tanpa rasa bersalah. Memang benar, kata Yudi Latif “negeri ini sedang dilanda kemarau budi pekerti dan tuna aksara moral”. Kondisi ini membuat kita merasakan suatu perasaan yang memancarkan air mata kepedihan.
Inilah sebuah tanda pendidikan celaka, tercermin pada pendidik yang gagal membangun karakter anak bangsa yang bermartabat. Anak-anak yang hidup dengan rendahnya kesadaran moral dan tak berkarakter sudah bermunculan di luar ruang dan meresahkan masyarakat luas. Tak pelak lagi, pendidikan ideal yang diimpikan hanya sebatas jari yang menunjuk bulan.
Pendidik mesti menata ulang sistem ketahanan pendidikan khususnya di sekolah mengingat saat ini sekolah ibarat pabrik yang hanya bekerja atas dasar mekanis, mengabaikan aspek moral dan karakter, dimana anak-anak hanya dipicu mengejar duit dan duit. Lebih parahnya lagi, peran pendidik di sekolah hanya “mengajar” dan tak lagi “mandidik” sebagaimana yang diutarakan Dadang Supardan.
Tidaklah etis jika pendidik mulai bertindak ketika anak bangsa sudah berada pada keterpurukan moral dan karakter. Namun tak ada jalan lain, pendidik harus berkontribusi lebih demi menyelamatkan keterpurukan moral dan karakter setiap anak bangsa melalui beberapa langkah bijak.
Pertama, pendidik merupakan salah satu aktor kunci dalam menghitamputihkan nasib bangsa ini, sehingga kehadiran pendidik dalam lingkungan sekolah dituntut untuk mengulurkan bimbingan bagi setiap anak bangsa agar mereka memiliki nasib baik di masa mendatang, terlebih lagi menjadi cerdas dan berperilaku baik. Thomas Lickona dalam bukunya Education for Character mengemukakan bahwa penelitian sejarah dari seluruh negara yang ada di dunia ini, pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing setiap generasi untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku baik.
Kedua, pembinaan dan pengembangan moral dan karakter di sekolah tak hanya sebatas pengetahuan, tetapi dalam perbuatan. Pendidik terlebih dahulu menunjukan mata air keteladanan yang memancarkan perbuatan manusiawi, santun, menghargai perbedaan, demokratis, adil, dan solider. Setelah itu, pendidik membimbing setiap anak bangsa untuk membiasakan hal serupa dalam berbagai kegiatan di lingkungan sekolah.
Ketiga, pendidik mesti menganjurkan setiap anak bangsa untuk meneladani para tokoh yang setia mengamalkan ajaran luhur Pancasila sehingga mereka dapat membentuk sinergi budi pekerti yang mempertemukan perbedaan (bukan menyeragamkan) menjadi harmoni yang saling manyatukan dan menguatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbagai usaha mesti dilakukan secara rutin oleh pendidik demi menyelamatkan keterpurukan moral dan karakter setiap anak bangsa agar kedepan pendidikan tak lagi memancarkan air mata kepedihan, melainkan mata air kehidupan yang menyejukkan nurani, menyegarkan pikiran, dan membersihkan segala keterpurukan moral maupun karakter setiap anak bangsa. SEMOGA !
Tidak ada komentar