Breaking News

Alih Fungsi Benteng Victoria, Pemantapan Civil Society di Maluku

Peran Nyata TNI dalam Penguatan Civil Society di Maluku



Oleh :
Hesky Semuel Lesnussa


Selayang Pandang

Empat belas tahun lalu, Saat sedang dirawat pada Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, mantan Presiden Gusdur (Alm) masih bersemangat menulis pandangannya untuk di muat di harian Kompas terbitan  9 Agustus 2003,yang olehnya di beri judul “TNI dan Demokratisasi”. Dalam tulisannya itu, Gusdur  seolah melawan sendirian opini umum yang berkembang saat itu bahwa  melemahnya pemerintahan dan tereduksinya kebebasan bagi masyarakat sipil (Civil Society) adalah upaya TNI untuk berkuasa kembali.

Dengan tegas Presiden RI ke 4 ini menulis bahwa “Hendaknya kita berhati-hati dengan tidak melakukan  generalisasi terhadap TNI sebagai Lembaga. Memang ada oknum yang mengejar ambisi pribadi, seperti memandang peran TNI dalam politik sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Namun kenyataannya,   peranan seperti itu tidak akan pernah bisa, karena struktur serta hirarki TNI sendiri, yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada atasan, tidak memungkinkan TNI untuk berperan demokratis tanpa kehadiran pihak sipil dalam pengendalian keadaan, oleh karena itulah demokratisasi itu sendiri harus dilakukan bangsa ini bersama, termasuk ditopang oleh kemauan TNI sebagai institusi”.

Mungkin benar dugaan banyak orang bahwa Gusdur sanggup membaca arah zaman sekaligus melihat masa depan. Sebab apa yang diyakini oleh gusdur lewat tulisannya 14 tahun silam itu, perlahan mulai terwujud, Profesionalime TNI semakin Nyata semenjak dihapusnya Fraksi TNI-Polri dari DPR-RI tahun 2004 dan dari MPR-RI tahun 2009. Singkat cerita bisa diutarakan bahwa konsep TNI kembali ke barak semakin terealisir sesuai tuntutan reformasi 1998 itu sendiri yang menghendaki adanya profesionalisme TNI.

Apa itu Civil Society ?

Jauh sebelum Anwar Ibrahim mempopulerkan istilah “Masyarakat Madani” dalam simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah Festival Istiqlal, 26 September 1996 , Civil Society sebagai tradisi telah muncul sejak jaman Yunani kuno, di era filsuf romawi Cicero, Civil Society mulai terwacanakan setelah Cicero menggunakan kata Societies civilis dalam filsafat politiknya. Dalam perkembangannya sesudah era Renaissance di Eropa lahir banyak pemikiran dari para ahli seperti  Jhon Locke, Imanuel Kant, Hegel serta Karl Marx yang mulai merumuskan ide Civil Society sebagai bentuk jawaban atas krisis dalam suatu Negara.

Memang banyak definisi civil society yang dikonsepsikan oleh para ahli dari dalam dan luar Indonesia. Namun  Secara hakiki, Konsep Civil society dapat kita dimaknai sebagai Masyarakat yang beradap dalam membangun, menjalani dan memaknai kehidupannya. Tujuan dari civil society itu akan bermuara kepada upaya pemberdayaan sekaligus revitalisasi kemerdekaan masyarakat sipil, dalam melakukan kontrol terhadap Negara secara sukarela.mandiri dan tetap terikat pada norma dan nilai hukum yang berlaku.

Dalam konteks Indonesia, masalah civil Society bertalian erat dengan faktor historis, kearifan budaya serta tingkat penetrasi politik  Negara terhadap masyarakat. Boleh dibilang bahwa Civil society di Indonesia mengalami pasang surut semenjak proklamasi  17 Agustus 1945.

Di era reformasi yang tengah kita nikmati, sepintas dapat disimpulkan bahwa civil society memasuki masa perkembangan yang cukup signifikan Lewat terbukanya kran kebebasan berdemokrasi yang dibarengi juga dengan kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat.

Maluku Kontemporer dan Problematika klasiknya

Maluku sebagai bagian integral dari wilayah republik Indonesia memiliki cerita tersendiri yang teramat panjang jika dituturkan secara historis. sebab cerita tentang kemasyuran dan keagungan negeri ini akan rempah-rempahnya, yang telah memaksa penjelajah besar Eropa di semisal Christophorus Colombus, Bartholomeus Diaz, Vasco Da Gama serta Ferdinand Magelhaens merintis jalan mengarungi samudera untuk menemukannya akhir abad XV hingga abad XVI. Pencarian akan Maluku menjadi tonggak dimulainya Era penjelajahan Samudera yang terkenal dengan semboyan Gold, Glory, and Gospel, sekaligus membuka jalan bagi bangsa-bangsa eropa silih berganti mendatangi, menguasai hingga mencengkeramnya dalam rantai kolonialisme dan imperialisme.

Setelah Indonesia merdeka, Maluku menjadi satu diantara delapan provinsi mula-mula yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia sejak sidang ke 2 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus 1945 artinya Maluku merupakan salah satu pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejajar dengan Provinsi-provinsi besar ketika itu Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil (H. Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66, Yayasan Hak Bangsa,Jakarta 2001).

Sesudah itu, Maluku sempat berada dalam kondisi yang memprihatinkan akibat peristiwa separatis 25 april 1950 dan konflik horizontal 19 Januari 1999 beserta segala sebab dan akibatnya. Dua catatan peristiwa terakhir inilah yang seolah menjadi problem klasik yang menyandera sekaligus menghambat pembangunan Civil Society di Maluku sebab peristiwa 25 april 1950 menghasilkan stigmatisasi dan diskriminasi serta kecurigaan dari pemerintah RI sehingga Anak Maluku jarang berada pada jajaran elite pemerintahan di Jakarta, bandingkan dengan Gerakan Aceh merdeka dan Papua merdeka yang menghasilkan otonomi khusus pada kedua wilayah di ujung barat dan timur NKRI itu.

Sementara itu, konflik horizontal 19 Januari 1999 memberi dampak yang luas bukan soal korban jiwa, harta benda namun yang lebih utama ialah kehancuran nilai-nilai peradaban di Maluku, yang untuk membangun serta memulihkannya dibutuhkan waktu yang lama (Letjen TNI (Purn) Suaidi Marasabessy, Bangunlah Maluku Dari Laut - Sebuah Pergeseran Paradigma Pembangunan Yang Rasional Untuk Memantapkan Nasionalisme di Maluku, Jakarta,2014).

Alih fungsi Benteng Victoria, Pemantapan Civil Society di Maluku




TNI sebagai sebuah institusi militer tidak penah menyangkali fakta sejarah bahwa mereka lahir, tumbuh, dan berkembang karena rakyat. Jika ditelisik lebih jauh pada frame berasal “Dari Rakyat” maka bisa disimpulkan bahwa TNI adalah bagian dari Civil society itu sendiri.

Bagi TNI, pemaknaan reformasi adalah perubahan sistem otoritarian kepada demokratis. Dalam perubahan sistem tersebut, TNI diminta untuk menempatkan dirinya dalam suatu tatanan yang disebut dengan paradigma baru. Artinya bahwa reformasi bagi TNI harus dilihat dari aspek introspeksi dan antisipasi, dengan istilah lain “Mawas diri dan waspada”. Era reformasi juga telah menyediakan banyak waktu bagi TNI untuk membenahi dan menata diri serta menambah bobot intelektual bagi prajuritnya. Dan yang terpenting ialah bahwa dalam reformasi ini TNI harus memberi kontribusi dalam mengembangkan civil society dan demokratisasi, tanpa mengubah jati diri TNI. (Letjen TNI (Purn) Syafrie Syamsudin, Fungsi Teritorial TNI : Mendampingi satu Dekade Reformasi,2009, Kemenhan.go.id).

Dalam konteks itulah maka tidaklah mengherankan ketika Pangdam XVI Pattimura Mayjen TNI Doni Monardo dengan ketulusan dan jiwa besarnya mendukung rencana alih fungsi benteng Victoria yang berada di jantung kota Ambon menjadi cagar budaya. Berdasarkan kesepakatan pemerintah kota Ambon bersama Kodam XVI Pattimura maka Pihak Kodam XVI Pattimura bersedia meninggalkan Benteng peninggalan Portugis itu asalkan pemerintah kota ambon menyediakan lahan pengganti untuk dibangun asrama baru bagi prajurit.

Seingat penulis, rencana alih fungsi benteng Victoria ini sudah lama direncanakan oleh pemerintah kota ambon yang kala itu (Tahun 2006) masih dipimpin oleh walikota M.J Papilaya, yang mengkonsepsikan Kota Ambon sebagai Kota Sejarah.  namun hingga mengakhiri masa jabatannya tahun 2011, rencana ini tak kunjung terealisir.

Penulis mempresfektifkan bahwa keinginan baik TNI terutama Kodam XVI Pattimura untuk meninggalkan benteng Victoria turut dipengaruhi oleh sikap dan karakter Pangdam XVI Pattimura Mayjen TNI Doni Monardo sebagai seorang Prajurit dengan intelektual Reformis yang sangat memahami paradigma TNI di era reformasi, dimana TNI tetap berkontribusi dalam mengembangkan civil society dan demokratisasi, tanpa mengubah jati dirinya.

Menurut saya, alih fungsi benteng Victoria dari markas tentara menjadi cagar budaya adalah sebuah momentum penguatan Civil Society di Maluku, sebab benteng Victoria berkaitan erat dengan dua hal penting dalam penguatan Civil Society di Indonesia yaitu aspek historis dan kearifan budaya, sebab ketika nanti sudah diaktifkan menjadi cagar budaya maka ada interaksi sosio-historis secara alamiah disana, orang akan berbondong-bondong untuk mengunjunginya  mulai dari Anak Pendidikan Usia Dini hingga mahasiswa perguruan Tinggi. Akan ada sejumlah riset historis disana, dan dari sana akan muncul nilai-nilai kesejarahan dan kearifan Maluku yang senantiasa bermuara kepada penguatan Civil society itu sendiri.

Sejatinya, Masyarakat sipil dan Militer bekerjasama untuk membangun Civil Society, TNI adalah Warga Negara yang kebetulan bekerja sebagai profesi Militer. Keduanya, Masyarakat sipil dan mereka yang bekerja sebagai militer adalah sebagai Warga Negara Indonesia.

Rakyat Perancis senantiasa mengenang Napoleon Bonaparte karena keberhasilannya membangkitkan Nasionalisme Prancis serta memperbaharui sistem administrasi, sistem perbankan dan sistem Hukum Prancis (Napoleon Code) .  tak peduli ia kalah dalam pertempuran pamungkas di Waterloo, Belgia 18 Juni 1815. Maka, Apapun jadinya anda kelak, satu hal yang pasti bahwa Kita orang Maluku akan Mengenang Sosok Doni Monardo sebagai seorang Jenderal berintelektual reformis dengan Warisan penguatan Civil Society dimaluku lewat terobosan Tukar Guling Benteng Victoria dengan Pemkot Ambon.

Menutup tulisan singkat ini, penulis secara khusus mengutip Aturan 82 dari Correspondence de Napoleon bahwa “ Tindakan Paling Penting dari seorang jenderal hebat bukanlah hasil dari kesempatan atau takdir, tetapi selalu berasal dari perencanaan dan kejeniusannya”.

Tidak ada komentar